Mengapa kau masih mengharapkannya?
Manusia lemah yang hanya buatmu kecewa
Merasa hebat dengan segala kehebatannya
Merasa kurang dengan segala kelebihannya
Mengapa kau masih mengharapkannya?
Manusia kerdil yang buta hati
Meminta tapi lupa memberi
Mengapa kau masih juga mengharapkannya?
Mulutnya mendesis racuni pikiran
Kepalanya bahkan pecah karena kesombongan
Membesar tapi mengecilkan yang membesarkan
Haruslah pupuskan harapan!
Fun n Happy
bird
bird
Sabtu, 03 Mei 2014
Penerapan Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan merupakan
sesuatu yang harus terjadi pada bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi
adalah pergantian kurikulum 2013 dari kurikulum sebelumnya. Dalam rangka
menerapkan pendidikan yang bermutu, pemerintah telah menetapkan Kurikulum Tahun
2013 untuk diterapkan di sekolah / madrasah. Pada setiap aplikasi kurikulum
mempunyai aplikasi pendekatan pembelajaran berbeda-beda, demikian pada
kurikulum sekarang ini. Scientific approach (pendekatan ilmiah) adalah
pendekatan pembelajaran yang diterapkan pada aplikasi pembelajaran kurikulum
2013. Pendekatan ini berbeda dari pendekatan pembelajaran kurikulum sebelumnya.
Pada setiap langkah inti proses pembelajaran, guru akan melakukan
langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan pendekatan ilmiah.
Sebagai
bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi
sikap, pengetahuan dan keterampilan, kemampuan matematika yang dituntut
dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan
tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan
suatu permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada
pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai
berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan
scientific?
2.
Bagaimanakah karakteristik pembelajaran
ilmiah?
3.
Bagaimanakah langkah-langkah pendekatan
scientific?
4.
Bagaimanakah penerapan pendekatan
scientific dalam pembelajaran?
5.
Apa kelebihan dan kekurangan pendekatan
scientific?
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah yaitu :
1.
Mengetahui pendekatan scientific.
2.
Mengetahui karakteristik pembelajaran
ilmiah.
3. Mengetahui
langkah-langkah pendekatan scientific.
4. Mengetahui
penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran.
5. Mengetahui
kelebihan dan kekurangan pendekatan scientific.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pendekatan Scientific
Pembelajaran kurikulum 2013
adalah pembelajaran dengan memperkuat proses pembelajaran dan penilaian
autentik untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Penguatan proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan scientific, yaitu
pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya, mencoba
/ mengumpulkan data, mengasosiasi / menalar, dan mengomunikasikan.
Pembelajaran scientific
merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun
pengetahuan melalui metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah
yang memungkinkan terbudayakannya kecapakan berpikir sains, terkembangkannya
“sense of inquiry” dan kemampuan berpikir kreatif siswa (Alfred De Vito, 1989).
Model pembelajaran yang dibutuhkan adalah mampu menghasilkan kemampuan untuk
belajar (Joice & Weil, 1996), bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu diperoleh peserta didik (Zamroni, 2000
& Semiawan, 1998).
Pembelajaran scientific tidak
hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, namun proses pembelajaran
dipandang sangat penting. Oleh karena itu pembelajaran scientific menekankan
pada keterampilan proses. Model pembelajaran berbasis peningkatan keterampilan
proses sains adalah model pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan
proses sains ke dalam sistem penyajian materi secara terpadu (Beyer, 1991).
Model ini menekankan pada proses pencarian pengetahuan daripada transfer
pengetahuan, peserta didik dipandang sebagai subjek belajar yang perlu
dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, guru hanyalah seorang
fasilitator yang membimbing dan mengkoordinasikan kegiatan belajar. Dalam model
ini peserta didik diajak untuk melakukan proses pencarian pengetahuan berkenaan
dengan materi pelajaran melalui berbagai aktivitas proses sains sebagaimana
dilakukan oleh para ilmuwan (scientist) dalam melakukan penyelidikan ilmiah
(Nur, 1998), dengan demikian peserta didik diarahkan untuk menemukan sendiri
berbagai fakta, membangun konsep, dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk
kehidupannya. Fokus proses pembelajaran diarahkan pada pengembangan
keterampilan siswa dalam memproseskan pengetahuan, menemukan, dan mengembangkan
sendiri fakta, konsep, dan nilai-nilai yang diperlukan (Semiawan, 1992).
Model ini juga tercakup
penemuan makna (meanings), organisasi, dan struktur dari ide atau gagasan,
sehingga secara bertahap siswa belajar bagaimana mengorganisasikan dan
melakukan penelitian. Pembelajaran berbasis keterampilan proses sains
menekankan pada kemampuan peserta didik dalam menemukan sendiri (discover)
pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman belajar, hukum-hukum,
prinsip-prinsip dan generalisasi, sehingga lebih memberikan kesempatan bagi
berkembangnya keterampilan berpirkir tingkat tinggi (Houston, 1988). Dengan
demikian peserta didik lebih diberdayakan sebagai subjek belajar yang harus
berperan aktif dalam memburu informasi dari berbagai sumber belajar, dan guru
lebih berperan sebagai organisator dan fasilitator pembelajaran.
Model pembelajaran berbasis
keterampilan proses sains berpotensi membangun kompetensi dasar hidup siswa
melalui pengembangan keterampilan proses sains, sikap ilmiah, dan proses
konstruksi pengetahuan secara bertahap. Keterampilan proses sains pada
hakikatnya adalah kemampuan dasar untuk belajar (basic learning tools) yaitu
kemampuan yang berfungsi untuk membentuk landasan pada setiap individu dalam
mengembangkan diri (Chain dan Evans, 1990).
Pendekatan scientific atau ilmiah merupakan suatu cara
atau mekanisme pembelajaran untuk memfasilitasi siswa agar mendapatkan
pengetahuan atau keterampilan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode
ilmiah (Kemdikbud, 2013).
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua
jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran
harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam
proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’.
Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil
akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi
manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan
pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik
yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern
dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific
appoach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi
melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi,
menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar,
kemudian menyimpulkan, dan mencipta.
2.2
Kriteria Pembelajaran Ilmiah
Proses pembelajaran
dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan
ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan,
pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran
harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria
ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti
berikut ini.
1.
Substansi atau
materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan
logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda,
atau dongeng semata.
2.
Penjelasan guru,
respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka
yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur
berpikir logis.
3.
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi,
memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi
pembelajaran.
4.
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola
berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada
konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran
dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
2.3
Langkah-langkah Pendekatan Scientific
Pendekatan
saintifik atau pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok sebagai
berikut :
1.
Observing (mengamati)
Objek matematika
yang dipelajari dalam matematika adalah buah pikiran manusia, sehingga bersifat
abstrak. Mengamati objek matematika dapat dikelompokkan dalam dua macam
kegiatan yang masing-masing mempunyai ciri berbeda, yaitu:
a.
Mengamati fenomena lingkungan kehidupan
sehari-hari yang berkaitan dengan topik matematika tertentu
Fenomena adalah
hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat dijelaskan serta dinilai
secara ilmiah. Melakukan pengamatan terhadap fenomena dalam lingkungan
kehidupan sehari-hari tepat dilakukan ketika siswa belajar hal-hal yang terkait
dengan topik-topik matematika yang pembahasannya dapat dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari secara langsung. Fenomena yang diamati akan menghasilkan
pernyataan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya
pernyataan tersebut dituangkan dalam bahasa matematika atau menjadi pembuka
dari pembahasan objek matematika yang abstrak.
b. Mengamati
objek matematika yang abstrak
Kegiatan mengamati
objek matematika yang abstrak sangat cocok untuk siswa yang mulai menerima
kebenaran logis. Siswa tidak mempermasalahkan kebenaran pengetahuan yang diperoleh,
walaupun tidak diawali dengan pengamatan terhadap fenomena. Kegiatan mengamati seperti
ini lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan mengumpulkan dan memahami kebenaran objek
matematika yang abstrak. Hasil pengamatan dapat berupa definisi, aksioma,
postulat, teorema, sifat, grafik dan lain sebagainya.
Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi,
melihat, mendengar, membaca, dan atau menyimak.
2.
Questioning (menanya)
Menurut Bell
(1978), objek kajian matematika yang dipelajari siswa selama belajar di sekolah
dapat berupa fakta (matematika), konsep (pengertian pangkal, definisi), prinsip
(teorema, rumus, sifat), dan skill (algoritma/prosedur). Fakta, konsep,
prinsip, skill tersebut adalah buah fikiran manusia, sehingga bersifat
abstrak. Dalam mempelajari konsep atau prinsip matematika yang tergolong
sebagai pengetahuan, sebagaimana disampaikan oleh Piaget (Wadsworth, 1984)
sangat perlu dipertimbangkan bahwa tingkat berpikir siswa. Proses pembelajaran
untuk memahami konsep dan prinsip matematika perlu dikelola dengan
langkah-langkah pedagogis yang tepat dan difasilitasi media tertentu agar buah
pikiran yang abstrak tersebut dapat dengan mudah dipahami siswa. Langkah
pedagogis dan penggunaan media tersebut menuntut siswa dan guru terlibat dalam
pertanyaan-pertanyaan yang menggiring pemikiran siswa secara bertahap, dari
yang mudah (konkret) menuju ke yang lebih kompleks (abstrak) sehingga akhirnya
pengetahuan
diperoleh oleh siswa sendiri dengan bimbingan guru.
Dalam hal
mempelajari keterampilan berprosedur matematika, kecenderungan yang ada
sekarang adalah siswa gagal menyelesaikan suatu masalah matematika jika
konteksnya berbeda, walaupun hanya sedikit perbedaannya. Ini terjadi karena
siswa cenderung menghafal algoritma atau prosedur tertentu. Pada diri siswa
tidak terbangun kreativitas dalam berprosedur. Kreativitas berprosedur dapat
dibangkitkan dari pemberian pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan didesain
agar siswa dapat berpikir tentang alternatif-alternatif jawaban atau
alternatif-alternatif cara berprosedur. Dalam hal ini guru diharapkan agar
menahan diri untuk tidak memberi tahu jawaban pertanyaan. Apabila terjadi
kendala dalam proses menjawab pertanyaan, atau diprediksi terjadi kendala dalam
menjawab pertanyaan, guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan secara
bertahap yang mengarah pada diperolehnya jawaban pertanyaan oleh siswa sendiri.
Di sinilah peran guru dalam memberikan scaffolding atau ‘pengungkit’
untuk memaksimalkan ZPD (Zone Proximal Development) yang ada pada siswa
(Chambers, 2007).
3.
Associating (menalar)
Secara
umum dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-fakta yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan
berupa pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika, pada umumnya proses
menalar terjadi secara simultan dengan proses mengolah atau menganalisis
kemudian diikuti dengan proses menyajikan atau mengkomunikasikan hasil
penalaran sampai diperoleh suatu simpulan. Bentuk penyajian pengetahuan atau
ketrampilan matematika sebagai hasil penalaran dapat berupa konjektur atau dugaan
sementara atau hipotesis.
Ada dua
cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena
khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih
banyak berpijak pada hasil pengamatan inderawi atau pengalaman empirik. Penalaran
deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari
pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat
khusus. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus (Sudarwan,
2013). Penalaran yang paling dikenal dalam matematika terkait penarikan
kesimpulan adalah modus ponen, modus tolen dan silogisme.
Sesuai
dengan tingkat berpikirnya, siswa SD/MI dan SMP/MTs yang umumnya dalam tingkat berpikir
operasional konkret dan peralihan ke tingkat operasional formal, sehingga cara memperoleh
pengetahuan matematika pada diri siswa SD/MI dan SMP/MTs banyak dilakukan dengan
penalaran induktif, sedangkan untuk siswa SMA/MA sudah mulai banyak dilakukan dengan
penalaran deduktif.
4.
Experimenting (mencoba)
Berdasarkan hasil
penalaran yang diperoleh pada tahap sebelumnya yakni berupa konjektur atau dugaan
sementara sampai diperoleh kesimpulan, maka selanjutnya perlu dilakukan
kegiatan ‘mencoba’. Kegiatan mencoba dalam proses pembelajaran matematika di sekolah
dimaknai sebagai menerapkan pengetahuan atau keterampilan hasil penalaran ke
dalam suatu situasi atau bahasan yang masih satu lingkup, kemudian diperluas ke
dalam situasi atau bahasan yang berbeda lingkup.
Tahap mencoba ini
menjadi wahana bagi siswa untuk membiasakan diri berkreasi dan berinovasi menerapkan
dan memperdalam pengetahuan atau keterampilan yang telah dipelajari bersama guru.
Dengan memfasilitasi kegiatan ‘mencoba’ ini siswa diharapkan tidak terkendala
dalam memecahkan permasalahan matematika yang merupakan salah satu tujuan
penting dan mendasar dalam belajar matematika. Pengalaman ‘mencoba’ akan
melatih siswa yang memuat latihan mengasah pola pikir, sikap dan kebiasaan
memecahkan masalah itulah yang akan banyak memberi sumbangan bagi siswa dalam
menuju kesuksesan mengarungi kehidupan sehari-harinya. Kurikulum 2013 secara
eksplisit menyiapkan siswa agar terampil memecahkan masalah melalui penataan
kompetensi kompetensi dasar matematika yang dipelajari siswa. Kegiatan mencoba mencakup merencanakan,
merancang, dan melaksanakan eksperimen, serta memperoleh, menyajikan, dan
mengolah data.
5.
Networking (membentuk jejaring)
Membentuk jejaring
dimaknai sebagai menciptakan pembelajaran yang kolaboratif antara guru dan
siswa atau antar siswa. Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat
personal, lebih dari sekadar melaksanakan suatu teknik pembelajaran di kelas.
Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang
menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang
secara baik dan disengaja sedemikian rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam
rangka mencapai tujuan bersama (Kemdikbud, 2013).
Dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, fungsi guru
lebih sebagai manajer belajar dan siswa aktif melaksanakan proses belajar.
Dalam situasi pembelajaran kolaboratif antara guru dan siswa atau antar siswa,
diharapkan terjadi siswa berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima
kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga pada diri siswa akan tumbuh
rasa aman, yang selanjutnya akan memungkinkan siswa menghadapi aneka perubahan
dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
Membentuk jejaring dapat dilaksanakan dengan memberi
penugasan-penugasan belajar secara kolaboratif. Penugasan kolaboratif dapat dilaksanakan
pada proses mengamati, menanya, menalar atau mencoba. Selain belajar mengasah sikap
empati, saling menghargai dan menghormati perbedaan, berbagi, dengan
diterapkannya pembelajaran kolaboratif maka bahan belajar matematika yang
abstrak diharapkan akan menjadi lebih mudah dipahami siswa.
Kegiatan membentuk jejaring adalah sarana untuk menyampaikan hasil
konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, gambar / sketsa, diagram, atau
grafik. Kegiatan ini dilakukan agar siswa mampu mengomunikasikan pengetahuan,
keterampilan, dan penerapannya, serta kreasi siswa melalui presentasi, membuat
laporan, dan atau unjuk karya.
2.4
Penerapan Pendekatan Scientific dalam
Pembelajaran
Penerapan
pendekatan scientific dalam pembelajaran pada materi segiempat adalah sebagai
berikut :
1.
Observing (mengamati)
·
Siswa mengamati gambar/foto/video dari peristiwa,
kejadian, fenomena, konteks atau situasi yang berkaitan dengan penerapan konsep segiempat.
2.
Questioning (menanya)
·
Guru dapat memotivasi siswa dengan
bertanya tentang segiempat.
·
Siswa termotivasi untuk mempertanyakan
berbagai segempat.
3.
Associating (menalar)
·
Siswa menganalisis, mengkaitkan dan mendefinisikan secara
lebih persis perbedaan dan persamaan persegi, persegi panjang, trapezium, jajar
genjang, belah ketupat, layang-layang.
4.
Experimenting (mencoba)
·
Siswa mengidentifikasi dan menjelaskan benda-benda dengan
permukaaan berbentuk segiempat yang bersifat alamiah ataupun buatan manusia
untuk kepentingan estetik, fungsi, manfaat, ataupun fungsi ergonomisnya
·
Siswa menggambar atau melukis segi empat dengan berbagai ukuran sisi,
sudut dan modelnya. Mengukur sudutnya dengan dengan
menggunakan busur derajat.
·
Siswa menentukan jenis, sifat dan karakteristik segiempat berdasarkan
ukuran dan hubungan antar
sudut dan sisi-sisi.
5.
Networking (membentuk jejaring)
·
Siswa menyajikan secara tertulis dan
lisan hasil pembelajaran atau apa yang telah dipelajari pada tingkat kelas atau
tingkat kelompok mulai dari apa yang telah dipahami, keterampilan mengidentifikasi sifat-sifat segiempat yang dikuasai.
·
Guru memberikan tanggapan hasil
presentasi meliputi tanya jawab untuk mengkonfirmasi, memberikan tambahan
informasi, melengkapi informasi ataupun tanggapan lainnya
·
Siswa melakukan resume secara lengkap,
komprehensif dan dibantu guru dari konsep yang dipahami, keterampilan yang diperoleh
maupun sikap lainnya.
2.5 Kelebihan
dan Kekurangan Pendekatan Scientific
Kelebihan pendekatan
scientific yaitu :
v Siswa
harus aktif dan kreatif
Tak seperti kurikulum sebelumya materi di kurikulum
terbaru ini lebih ke pemecahan masalah. Jadi siswa untuk aktif mencari
informasi agar tidak ketinggalan materi pembelajar.
v Penilaian
di dapat dari semua aspek.
Pengambilan nilai siswa bukan hanya di dapat dari
nilai ujianya saja tetapi juga di dapat dari nilai kesopanan, religi, praktek, sikap
dan lain lain.
Kekurangan pendekatan
scientific yaitu :
v Guru
jarang menjelaskan
Guru banyak yang beranggapan bahwa dengan kurikulum
terbaru ini guru tidak perlu menjelaskan materinya. Padahal kita tahu bahwa
belajar matematika, fisika, dll tidak cukup hanya membaca saja.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dari
pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1.
Pendekatan scientific
atau ilmiah merupakan suatu cara atau mekanisme pembelajaran untuk
memfasilitasi siswa agar mendapatkan pengetahuan atau keterampilan dengan
prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah.
2.
Kriteria
pembelajaran ilmiah yaitu :
1.
Substansi atau
materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan
dengan logika atau penalaran tertentu.
2.
Penjelasan guru, respon
peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari
prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang
dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi
atau materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi
pembelajaran.
5.
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola
berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi
pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggung-jawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas,
dan menarik sistem penyajiannya.
3.
Langkah-langkah
pendekatan scientific adalah sebagai berikut :
1.
Observing (mengamati)
2.
Questioning (menanya)
3.
Associating (menalar)
4.
Experimenting (mencoba)
5.
Networking (membentuk jejaring)
4.
Penerapan
pendekatan scientific dalam pembelajaran pada materi segiempat adalah sebagai
berikut :
1.
Observing (mengamati)
Siswa
mengamati gambar/foto/video
dari peristiwa,
kejadian, fenomena, konteks atau situasi yang berkaitan dengan penerapan konsep segiempat.
2.
Questioning (menanya)
Guru
dapat memotivasi siswa dengan bertanya tentang segiempat.
3.
Associating (menalar)
Siswa menganalisis, mengkaitkan dan mendefinisikan secara
lebih persis perbedaan dan persamaan persegi, persegi panjang, trapezium, jajar
genjang, belah keupat, laying-layang.
4.
Experimenting (mencoba)
Siswa menggambar atau melukis segi empat dengan berbagai ukuran sisi,
sudut dan modelnya.
5.
Networking (membentuk jejaring)
Siswa
menyajikan secara tertulis dan lisan hasil pembelajaran atau apa yang telah
dipelajari dan ditanggapi oleh guru. Siswa melakukan resume secara lengkap,
komprehensif dan dibantu guru.
5.
Kelebihan pendekatan scientific yaitu :
§ Siswa
harus aktif dan kreatif
§ Penilaian
di dapat dari semua aspek.
Kekurangan pendekatan
scientific yaitu :
§ Guru
jarang menjelaskan
3.2
Saran
Dengan dilaksanakannya Kurikulum 2013
yang menggunakan pendekatan scientific dalam pembelajaran, guru diharapkan
mampu melaksanakan pendekatan scientific dengan maksimal agar hasil
pembelajaran meningkat secara optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathematics.
Iowa:WBC
Chambers, Paul. 2007. Teaching Mathematics: Developing
as A Reflective Secondary Teacher. Thousand Oaks, CA: Sage Publication Inc.
Kemdikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013. Paparan
Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta :Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTs. Jakarta
:Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Pembelajaran
Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika (Peminatan) Melalui Pendekatan
Saintifik. Jakarta: Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Materi
Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud
Kemdikbud. 2013. Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam
Pembelajaran. Jakarta: Pusbangprodik.
Wadsworth, Barry J., 1984. Piaget’s Theory of
Cognitive and Affective Development (3rd edition). NY: Longman Inc.
Langganan:
Postingan (Atom)